Latar
belakang penulisan artikel ini adalah karena adanya sebagian kalangan
umat Islam yang menganggap bahwa Tawassul melalui Nabi Muhammad saw, Ahlul
Baitnya dan Para Awliya / Wali - Wali Allah, merupakan perbuatan Bid’ah, tidak
pernah dicontohkan oleh Baginda Rasul saw dan dapat tergolong perbuatan Syirik.
Lebih lanjut, mereka beranggapan bahwa Tawassul yang diperbolehkan hanyalah
melalui Amal Shaleh dan ketaatan kepada Allah saja. Benarkah seperti itu ???
Secara istilah Syar’i, definisi Tawassul adalah : perantara yang berharga bagi seorang hamba untuk bisa memperoleh kedekatan dengan Allah. Adapun secara bahasa, Ibnu Mandhur, dalam Lisanul ‘Arab, juz 11 hal.724 mendefinisikan Bertawassul kepada seseorang artinya mendekat kepada orang tersebut melalui penghormatan yang dapat menarik / mencuri perhatiannya.
Dalil
bertawassul dalam Al Qur’an dapat kita jumpai dalam Surah Al Maidah ayat 35,
Allah berfirman :
“Wahai
orang – orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah dan carilah Wasilah untuk
mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.”
{QS.Al Maidah : 35}
Jauhari
dalam Dhihahul Lughah mendefinisikan Wasilah sebagai berikut :
“Al
Wasiilatu maa yataqorrobu bihi ilal ghoir”
Artinya
:
“Wasilah
adalah mendekat kepada sesuatu dengan melalui sesuatu yang lain”
Sesungguhnya
ada tiga cara bertawassul, yaitu :
1.
Bertawassulnya seseorang kepada Allah melalui ketaatannya dan amal shalehnya.
Contohnya pada tiga orang yang terkurung oleh batu besar di sebuah gua. Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya ( jilid 3, No. 418)
2.
Bertawassulnya seseorang dengan doa hamba Allah yang layak, yakni manusia –
manusia yang memiliki spiritualitas tingkat tinggi dan kedudukan khusus di sisi
Allah (Para Nabi dan Rasul serta para Awliya / Waliyullah) ketika
mereka masih hidup, seperti yang dilakukan oleh saudara – saudara Nabi Yusuf
as. Dalam Al Qur’an Allah berfirman :
“Mereka
berkata; Wahai ayah kami, mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa – dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah. Dia (Yakub) berkata; Aku akan
memohonkan ampunan untuk kalian kepada Tuhanku. Sungguh, Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” {QS.Yusuf : 97 – 98}
Dari
ayat di atas, jelas bahwa anak – anak Nabi Yakub as memohon ampunan Allah
dengan bertawassul kepada Nabi Yakub as sebagai wasilah (jalan perantara)
pengampunan mereka. Perhatikan sikap Nabi Yakub as dalam ayat ini, beliau as
sama sekali tidak menegur sikap anak – anaknya itu, beliau as malah menjanjikan
bahwa Allah akan mengampuni mereka.
Tawassul
dengan cara ini juga dilakukan oleh para Sahabat di zaman hidupnya Rasulullah
saw. Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya juz 4 hal.138 dari Utsman bin
Hunaif meriwayatkan sebagai berikut :
“Seorang
lelaki buta datang menemui Rasulullah saw dan berkata : Mataku buta, aku mohon
agar engkau mendoakanku supaya Allah menyembuhkanku. Nabi Muhammad saw
lalu berkata Ambillah air wudhu dan lakukan shalat dua rakaat lalu berdoa
seperti ini; “ Ya Allah aku memohon dan menghadap kepada-Mu melalui perantara
Nabi-Mu Muhammad saw, sebagai Nabi yang penuh rasa kasih. Wahai Muhammad,
melalui perantaraanmu aku menghadap Allah agar Allah menyembuhkan
penglihatanku. Ya Allah, jadikanlah beliau (Nabi Muhammad saw) sebagai pemberi
Syafaatku.” Nabi Muhammad saw menambahkan, Dan sekiranya engkau memiliki hajat
– hajat yang lain, maka lakukanlah hal yang sama !”
Riwayat
ini telah disepakati para ahli Hadits, Hakim Nisyaburi dalam kitab Mustadrak
juz 1 hal.313, setelah menukil hadis ini menyatakan bahwa hadits ini shahih.
Ibnu Majah menukil dari Abu Ishak berkata :”Ini riwayat shahih”. Tirmidzi
dalam kitab Abwabul Ad’iyah juga menyatakan bahwa Hadits ini shahih, begitu
juga dalam kitab Tawassul ila Haqiqat Tawassul, beliau berkata :”Tidak
diragukan lagi, hadis ini shahih dan masyhur.”
Dari
riwayat ini, sangat jelas diperbolehkannya bertawassul dengan Rasulullah saw
untuk memenuhi segala hajat / kebutuhannya, bahkan Rasulullah saw memerintahkan lelaki buta
itu dalam doanya agar menjadikan diri Rasul saw sebagai wasilah (perantara)
kepada Allah.
Bertawassul
kepada Nabi saw dan Wali – Wali Allah merupakan hal yang wajar dan umum. Pada
periode awal Islam, umat Islam senantiasa membuat syair tentang Rasulullah saw
sebagai sarana wasilah antara dirinya dengan Allah. Thabrani meriwayatkan bahwa
suatu ketika Sawad bin Qarib membacakan bait – bait kasidah untuk Rasulullah
saw di depan beliau saw, di antara bait – bait tersebut berbunyi :
“Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia (Allah),
Dan
engkau (Muhammad) benar – benar aman dari segala yang terselubung,
Engkau
di antara para Nabi,
Yang
paling dekat Wasilahnya kepada Allah,
Wahai
putra manusia – manusia mulia dan suci.”
Ketika
Rasulullah saw mendengar bait – bait ini, beliau saw tidak menunjukkan sikap
tidak setuju, tidak pula beliau saw menyatakan bahwa perbuatan tersebut
tergolong bid’ah atau syirik.
Contoh
yang lain lagi adalah : Dalam Shahih Al-Bukhori. Hadis 559,
diriwayatkan oleh Anas : Tatkala kekeringan melanda, Khalifah Umar bin Khattab
sering meminta diturunkannya hujan kepada Allah melalui Abbas bin Abdul
Muthalib. Ia berkata :
”Ya
Allah, di zaman Rasulullah saw kami bertawassul kepada-Mu dan Engkau menurunkan
hujan. Sekarang kami bertawassul melalui paman Nabi saw, kenyangkan kami dengan
air” Maka hujan pun turun kepada mereka.
3.
Bertawassulnya seseorang dengan wasilah hamba Allah yang layak, yakni manusia –
manusia yang memiliki spiritualitas tingkat tinggi dan kedudukan khusus di sisi
Allah (Para Nabi dan Rasul serta para Awliya / Waliyullah) di saat
mereka sudah meninggal.
Thabrani,
dalam kitabnya Al-Mu’jam As-Saghir, meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang
lelaki yang mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan berulang kali untuk
mendapatkan sesuatu yang ia butuhkan. Tetapi Khalifah Utsman belum
memperhatikan kebutuhannya tersebut, sampai akhirnya Lelaki itu bertemu dengan
Ibnu Hunaif dan mengeluhkan persoalannya. Peristiwa ini terjadi setelah Nabi
Muhammad saw wafat dan setelah kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Utsman
bin Hunaif, kemudian berkata : Berwudhulah, lalu pergi ke Masjid.
Lakukanlah sholat dua rakaat dan bacalah doa ini “ Ya Allah ! Aku memohon kepada-Mu
dan aku menghadap-Mu melalui Rasul kami, Muhammad Rahmat bagi alam semesta.
Wahai Muhammad, aku minta tolong kepadamu agar engkau sampaikan kepada Tuhanku
agar Dia mengabulkan hajatku.” lalu sebutkanlah hajatmu. Setelah itu temuilah
aku agar aku bisa mengantarmu menemui Khalifah Utsman. Lelaki itu pun pergi
melakukan semua itu. Kemudian ia langsung menuju pintu rumah Utsman. Seorang penjaga
menggandeng tangannya dan membawanya kepada Khalifah Utsman bin Affan
lalu mendudukannya pada sebuah bantal di sisinya.
Khalifah
Utsman berkata “Apa keperluanmu ?” Lalu lelaki itu menyebutkan apa yang ia
butuhkan dan Utsman memenuhi kebutuhannya seraya berkata “ Aku tidak ingat
keperluanmu hingga tadi. Apapun yang engkau butuhkan, sebutkan saja !”
tambahnya. Lalu lelaki itu pergi, bertemu Utsman bin Hunaif dan berkata
kepadanya “Semoga Allah membalas kebaikanmu ! Ia tidak memperhatikan
kebutuhanku atau pun memperdulikannya sampai engkau berbicara padanya”. Utsman
bin Hunaif menjawab “ Demi Allah aku tidak berbicara padanya tetapi dulu aku
pernah melihat seorang lelaki buta menemui Rasulullah saw dan mengeluhkan
kebutaannya. Nabi Muhammad saw berkata “ Tidakkah engkau dapat bertahan dengan
keadaanmu ?” dan lelaki itu menjawab “wahai Rasulullah, aku tidak memiliki
siapapun untuk menjadi penuntun jalanku dan ini sangat menyulitkanku.”
Rasulullah bersabda padanya “ Pergilah berwudhu dan lakukan sholat dua
rakaat. Lalu berdo’alah dan memohon permintaanmu!” Ibnu Hunaif melanjutkan.
“Demi Allah, kami pergi dan belum sempat berbicara lama ketika lelaki itu
kembali seolah – olah belum pernah terjadi sesuatu apapun kepadanya. “
(Kebutaannya sembuh dan melihat lagi).
Dalam Fada’il
Ash-Shahabah, yang disusun oleh Imam
Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal 662, Hadis nomer 1129 disebutkan bahwa
menjelang kematiannya, Abdullah bin Abbas berkata “ Ya. Allah, aku mendekatkan
diri kepada-Mu dengan berwilayah kepada Ali bin Abi Thalib. “
Kita
tahu bahwa Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 H / 687 M. dua puluh delapan tahun
setelah Imam Ali wafat. Apabila bertawassul kepada orang yang sudah meninggal
itu dianggap perbuatan syirik. Maka Ibnu Abbas tentunya tidak akan berkata
demikian dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak akan meriwayatkan peristiwa itu.
Nah,
dari berbagai penjelasan di atas, dapatlah kita simpulkan pernyataan –
pernyataan yang menyebutkan bahwa Tawassul adalah amalan bid’ah dan tergolong
syirik, justru merupakan pernyataan yang lemah dan tidak berlandaskan nash
(Ayat Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw).
Akhirnya,
saya tutup artikel ini dengan keterangan Ibnu Hajar Al
Asqalani dalam kitab As Shawai’qul Muhriqah hal.178 yang mana beliau mengutip
beberapa bait syair Imam Syafi’i, di antaranya adalah :
“Keluarga
Nabi, mereka wasilahku kepada Allah,
Aku
berharap karena mereka, akan kuterima kelak,
Catatan
amalku, dengan tangan kanan.”
No comments:
Post a Comment