Dalam Hukum Islam, khususnya berdasarkan Fiqih Mazhab
Syi’ah, di kenal dua bentuk pernikahan yaitu :
- Nikah Da’im adalah nikah tanpa batasan waktu (Permanen).
- Nikah Mut’ah adalah nikah dengan jangka waktu tertentu (Temporer) yang di sepakati oleh kedua belah pihak (pria dan wanita yang memenuhi syarat syar’i untuk menikah).
Islam adalah agama yang sangat ketat melarang Zina. Bahkan tidak hanya Zina, Pacaran yang menurut sebagian orang di anggap sebagai sebuah kelaziman, oleh Islam pacaran di golongkan sebagai salah satu perbuatan yang berpotensi menuntun seseorang kepada Zina, dan sebagaimana Zina yang telah Allah Haramkan, maka pacaran dan semua perbuatan yang berpotensi mendekatkan seseorang kepada Zina juga hukumnya Haram. Beratnya konsekwensi Duniawi dan Ukhrawi dari perbuatan Zina, telah kami ulas dalam artikel berikut :
Islam
memandang bahwa satu satunya sarana yang Sah, Legal, Halal dan sangat Manusiawi bagi pemenuhan
kebutuhan biologis manusia
hanyalah dengan Pernikahan baik Nikah Da’im maupun Nikah Mut’ah. Pentingnya
menikah dalam Islam dan banyaknya fadhilah / keistimewaan dalam pernikahan
telah kami paparkan dalam artikel berikut :
Mengapa
artikel ini hanya akan membahas mengenai Nikah Mut’ah ? Karena Nikah Mut’ah
cenderung selalu di salah pahami oleh sebagian kita umat Islam yang terbakar
api propaganda SYIAH BUKAN ISLAM, yang selama ini secara massif terus menerus
di dengungkan oleh kaum Intoleran Takfiri. Artikel ini tidak ingin menambah
kegaduhan yang sudah ada namun ingin memberi suatu titik terang terkait
persoalan Nikah Mut’ah yang selama ini di selimuti oleh Kabut Fitnah yang
tebal.
LANDASAN
HUKUM NIKAH MUT’AH
Allah
swt berfirman :
“Dan
(di haramkan pula atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak
perempuan yang kalian miliki, sebagai ketetapan Allah atas kalian. Dan di
halalkan bagi kalian selain yang demikian itu (yakni selain dari
perempuan-perempuan yang haram di nikahi sebagaimana yang tercantum pada ayat
sebelumnya QS. An Nisa : 23), mencari istri-istri dengan hartamu untuk di
nikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah ISTAMTA’TUM (kalian Mut’ah
/ kalian nikmati) dari antara mereka, maka berikanlah Mahar mereka sebagai
suatu kewajiban. Namun tidak mengapa bila kalian saling merelakan (menyepakati
hal lain) setelah menetapkan kewajiban (mahar). Sungguh Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
{QS. An Nisa : 24}
{QS. An Nisa : 24}
Kata
ISTAMTA’TUM dan MUT’AH berasal dari akar kata yang
sama dengan makna yang sama pula yaitu ISTIMTA’ yang artinya bersenang-senang atau menikmati. Kenapa pernikahan
pada ayat ini menggunakan kata Istimta’ yang artinya bersenang-senang atau
menikmati ? Karena secara simple saja tentunya bisa kita pahami bahwa tujuan
pernikahan (baik Nikah Da’im maupun Nikah Mut’ah) pastilah untuk mencari
kesenangan / kebahagiaan. Hampir bisa di pastikan, tidak seorang pun yang
menikah dengan tujuan untuk menderita.
Dalam Shahih Bukhari kitab Al Nikah, bab Nahy Rasulillah saw ‘an Nikah
Al Mut’ah Akhiran, hadits nomor 5115-5117 dan Shahih Muslim kitab Al Nikah, bab
Nikah Al Mut’ah, hadits nomor 3302-3305, kita bisa temukan riwayat sebagai
berikut :
Diriwayatkan dari Hasan bin Muhammad, dari Jabir bin Abdillah dan
Salamah bin Al Akwa’, keduanya menuturkan : “Kami bergabung dalam sebuah pasukan,
lalu datanglah utusan Rasulullah saw yang berkata : ‘Sesungguhnya Rasulullah
saw telah mengizinkan kalian untuk menikah Mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Ibnu Babawih berdasarkan sanadnya meriwayatkan bahwa Imam Ali as sewaktu
di Kufah, pernah menikah Mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nahsal.
(Wasailus Syi’ah, jilid 14, halaman 442, bab 2, hadits ke-6)
(Wasailus Syi’ah, jilid 14, halaman 442, bab 2, hadits ke-6)
Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) meyakini adanya kemudian dalil pengharaman Nikah Mut'ah oleh
Rasulullah saw sedangkan Mazhab Ahlul Bait (Syiah) meyakini bahwa
dalil pengharaman itu tidak pernah ada sehingga konsekwensi hukumnya adalah
Nikah Mut'ah tetap Halal hingga Yaumil Qiyamah. Namun begitu kedua pendapat ini
hendaknya kita hargai sebagai sebuah kekayaan khazanah keislaman
yang tak ternilai harganya. Apalagi Sunni dan
Syiah hanya berbeda pendapat apakah Nikah Mut'ah tetap dibolehkan seterusnya
atau sudah diharamkan oleh Nabi saw, tapi tidak ada yang mengingkari bahwa
perkara ini dikenal di zaman Rasul saw dan para Sahabat.
Halal dan Mubahnya Nikah Mut'ah dalam Mazhab Ahlul Bait adalah sebagaimana tertulis dalam Wasailus Syi’ah, jilid 14, halaman 451, bab 6,
hadits ke-1 sebagai berikut :
Fatah bin Yazid menuturkan : “Aku bertanya kepada Abil Hasan as tentang
Mut’ah. Imam as menjawab : ‘Ia adalah Halal dan Mubah secara Mutlak bagi orang
yang tidak mampu melangsungkan Nikah Da’im. Kalau kondisi seseorang demikian
(yakni tidak mampu melangsungkan Nikah Da’im), maka hendaknya dia menjaga
dirinya dari keadaan rohani yang tidak stabil, dengan cara Nikah Mut’ah. Namun,
apabila seseorang telah sanggup melangsungkan Nikah Da’im, maka Nikah Mut’ah
hanya di bolehkan baginya jika sedang berada jauh dari keluarganya.”
Dari riwayat di atas dapat pula di simpulkan bahwa dalam Mazhab Syiah,
Nikah Mut’ah bukan Nikah asal-asalan. Nikah Mut’ah memiliki sederet aturan dan
tata krama yang membuktikan bahwa Nikah Mut’ah itu sakral sebagaimana sakralnya
Nikah Da’im. Hikmah di syariatkannya Nikah Mut’ah sebenarnya adalah untuk
menutup semua pintu yang mengarah pada perzinaan, sehingga tidak lagi ada
seorang pun yang melakukan Zina kecuali orang yang sangat durjana.
HUKUM YANG MENGIRINGI NIKAH MUT’AH
Pada dasarnya pernikahan, baik itu Nikah Da'im maupun Nikah Mut'ah adalah perkara yang Mubah Bersyarat. Artinya ada sejumlah syarat / perangkat hukum yang harus di penuhi untuk mencapai kemubahannya. Berikut sebagian aturan yang mengiringi Syari'at Nikah Mut'ah :
Pada dasarnya pernikahan, baik itu Nikah Da'im maupun Nikah Mut'ah adalah perkara yang Mubah Bersyarat. Artinya ada sejumlah syarat / perangkat hukum yang harus di penuhi untuk mencapai kemubahannya. Berikut sebagian aturan yang mengiringi Syari'at Nikah Mut'ah :
- Pihak perempuan / calon istri memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak pernikahan, ia juga berhak penuh menentukan berapa atau bagaimana bentuk dan besaran Mahar yang di inginkannya.
- Semua hukum Mahram dalam Nikah Da’im berlaku sama pada Nikah Mut’ah.
- Di bolehkan Nikah Mut’ah antara lelaki Muslim dan wanita Muslimah walaupun berbeda mazhab, namun dengan syarat kedua pihak meyakini kemubahan Nikah Mut’ah. Sekaitan dengan hal ini, Imam Ali Ridho as berkata : “Nikah Mut’ah tidak Halal, kecuali bagi orang yang memahaminya dan Haram bagi orang yang tidak memahaminya.” (Wasailus Syi’ah, jilid 14, halaman 462, bab 13, hadits ke-2).
- Di bolehkan Nikah Mut’ah antara lelaki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), namun dengan syarat mereka bukan peminum Khamar (Miras) dan bukan pelaku Maksiat (Zina, dll).
- Tidak boleh Nikah Mut’ah dengan wanita Musyrik (Paganis / Penyembah Berhala).
- Tidak boleh Nikah Mut’ah dengan wanita Nawashib, yakni orang yang secara jelas menampakkan kebenciannya kepada Ahlul Bait as.
- Sebelum Aqad (Ijab Kabul), kedua pihak harus menyepakati jangka waktu pernikahan dan berapa jumlah atau bagaimana bentuk Mahar.
- Sangat di tekankan agar pihak lelaki / calon suami menyerahkan Mahar pada saat Aqad.
- Mengucapkan Aqad (Ijab Kabul) dengan ucapan yang jelas dan di pahami. Sangat di anjurkan mengucapkannya dalam bahasa Arab walaupun juga boleh dengan bahasa selain Arab selama redaksinya menegaskan kalimat Ijab dan Kabul.
- Kalimat Ijab harus di ucapkan oleh wanita / calon istri, kemudian tanpa jeda di lanjutkan dengan kalimat Kabul yang di ucapkan oleh lelaki / calon suami.
- Lafadz Ijab yang di ucapkan wanita bisa dengan kalimat berikut : Ankahtuka Nafsii Fil Muddatil Ma'luumah 'Alal Mahril Ma'luum artinya Saya Nikahkan Kepadamu Diriku Selama Waktu Yang Telah Disepakati Dengan Mahar Yang Telah Disepakati.
- Lafadz Kabul yang di ucapkan lelaki bisa dengan kalimat berikut : Qobiltun Nikah artinya Saya Terima Nikah (ini) atau Qobiltu wa Rodhitu artinya Saya Terima Dan Saya Rela (dengan pernikahan ini).
- Tidak ada Talaq dalam Nikah Mut’ah, perpisahan terjadi begitu waktu Aqad berakhir.
- Setelah waktu Aqad berakhir, pihak wanita harus menjalani Masa ‘Iddah yaitu 2 kali suci.
- Bila terlahir anak dari Nikah Mut'ah maka statusnya adalah anak Sah, anak Halal, bukan anak Haram, berhak menyandang marga ayahnya dan wajib dinafkahi oleh ayahnya dan berhak penuh atas warisan ayahnya.
Nikah Jihad sebagaimana yang pernah di fatwakan oleh “Ulama” ISIS adalah bentuk
kebiadaban yang sangat Brutal dan sangat merendahkan kehormatan wanita. Pernikahan ini di yakini oleh
mereka sebagai bentuk pernikahan darurat (karena dalam situasi perang / “Jihad”),
sehingga mereka meniadakan Masa ‘Iddah, dan Mahar boleh sesuka
prianya. Dan karena tidak ada Masa ‘Iddah maka
setiap perempuan bisa menikah jihad dengan puluhan Teroris ISIS dalam sehari. Kalau nekat menolak
maka leher adalah taruhannya. Ini sudah jelas bukan Syari'at Nabi Muhammad saw tapi
Syari'at Abu Jahal yang di
hidup-hidupkan kembali oleh manusia-manusia durjana ISIS. Bahkan ini bukan
pernikahan dan tidak layak di bandingkan dengan Syari’at Nikah dalam Islam.
APAKAH NIKAH MUT’AH SAMA DENGAN NIKAH
MISYAR WAHABI ?
Nikah Mut’ah sangat berbeda dengan
Nikah Misyar Wahabi yang di praktekkan oleh Turis Saudi di Puncak. Nikah Mut’ah
adalah pernikahan
dengan jangka waktu tertentu di mana
kedua belah pihak harus mengetahui dan menyepakati secara jelas kapan waktu
berakhirnya pernikahan dan harus di sebutkan
secara jelas sebelum Akad Nikah terjadi.
Sementara
Nikah Misyar
adalah pernikahan model baru
yang di ada adakan belakangan (Bid’ah)
oleh Fatwa “Ulama” Wahabi : Syeikh Bin Baz. Pernikahan dengan nama
ini, belum
pernah dikenal sepanjang sejarah Salafus Sholeh (Generasi Islam Terdahulu). Nikah Misyar adalah nikah dengan niat cerai, di mana sejak
awal sang suami telah menyimpan niat untuk mentalaq istrinya di saat urusannya
sudah selesai, sehingga kapan pastinya waktu berakhirnya pernikahan hanya sang
suami yang tahu persis. Tidak
ada kesepakatan jangka waktu
di antara kedua belah pihak sehingga pernikahan Misyar itu justru menzolimi perempuan dengan mendustainya.
Nikah
Mut'ah tercatat dalam sejarah Islam dengan nama dan istilah yang sama yaitu
Mut'ah. Nikah Mut’ah terbukti
pernah
di praktekkan oleh para Sahabat Nabi saw atas izin Rasulullah saw, walaupun sebagian umat Islam meyakini adanya riwayat yang
menyebutkan bahwa Nabi saw kemudian mengharamkan pernikahan ini.
Bang Taufik bisa kasi email? Untuk sy majukan soalan2 saya. Makasih
ReplyDelete085954850059
Deletepada awal islam nikah mutah emang halal tapi udah di haramkan oleh nabi dan itu uda jelas dan ada dalilnya. ada istilah nasekh mansukh
ReplyDeleteMut'ah Itu Di Al-Qur'an Hukum Yg Allah SWT Turun kan Maka Apabila Di Hapus Allah SWT Juga Yg Menghapus.Di Sunni Yg Menghapus Mahsyur Riwayat adalah Khalifah Umar bin Khattab.
ReplyDelete